Selasa, 16 Agustus 2016

Indonesia Belum Merdeka

“Dulu Bani Israil selalu dipimpin dan dipelihara urusannya oleh para nabi. Setiap nabi meninggal, nabi lain menggantikannya. Sesungguhnya tidak ada nabi sesudahku. Akan tetapi, nanti akan ada banyak khalifah.” (HR al-Bukhari dan Muslim)


Masuknya Islam ke Indonesia

Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-7. Saat itu sudah ada jalur pelayaran yang ramai dan bersifat internasional melalui Selat Malaka yang menghubungkan Dinasti Tang di Cina, Sriwijaya di Asia Tenggara dan Bani Umayyah di Asia Barat sejak abad ke-7. (Prof. Dr. Uka Tjandrasasmita, dalam Ensiklopedia Tematis Dunia Islam Asia Tenggara, Kedatangan dan Penyebaran Islam, 2002, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, hlm. 9-27).


Sebuah kesultanan Islam bernama Kesultanan Peureulak didirikan pada 1 Muharram 225H atau 12 November tahun 839M. Demikian pula Kerajaan Ternate tahun 1440. Kerajaan Islam lain di Maluku adalah Tidore dan Kerajaan Bacan. Institusi Islam lainnya di Kalimantan adalah Kesultanan Sambas, Pontianak, Banjar, Pasir, Bulungan, Tanjungpura, Mempawah, Sintang dan Kutai. Di Sumatera setidaknya diwakili oleh institusi kesultanan Peureulak, Samudera Pasai, Aceh Darussalam, Palembang. Adapun kesultanan di Jawa antara lain: Kesultanan Demak yang dilanjutkan oleh Kesultanan Jipang, lalu dilanjutkan Kesultanan Pajang dan dilanjutkan oleh Kesultanan Mataram, Cirebon dan Banten. Di Sulawesi, Silam diterapkan dalam institusi Kerajaan Gowa dan Tallo, Bone, Wajo, Soppeng dan Luwu. Di Nusa Tenggara penerapan Islam di sana dilaksanakan dalam institusi Kesultanan Bima. (Ensiklopedia Tematis Dunia Islam: Khilafah dalam bagian "Dunia Islam Bagian Timur", PT. Ichtiar Baru Vab Hoeve, Jakarta. 2002).

Seiring perjalanan waktu, hukum-hukum Islam diterapkan secara menyeluruh dan sistemik di Indonesia. A.C Milner mengatakan bahwa Aceh dan Banten adalah kerajaan Islam di Nusantara yang paling ketat melaksanakan hukum Islam sebagai hukum negara pada abad ke-17. Di Banten, hukuman terhadap pencuri dengan memotong tangan bagi pencurian senilai 1 gram emas telah dilakukan pada tahun 1651-1680 M di bawah Sultan Ageng Tirtayasa. Sultan Iskandar Muda pernah menerapkan hukum rajam terhadap putranya sendiri yang bernama Meurah Pupok yang berzina dengan istri seorang perwira. Kerajaan Aceh Darussalam mempunyai UUD Islam bernama Kitab Adat Mahkota Alam. Sultan Alaudin dan Iskandar Muda memerintahkan pelaksanaan kewajiban shalat lima waktu dalam sehari semalam dan ibadah puasa secara ketat. Hukuman dijalankan kepada mereka yang melanggar ketentuan. (Musyrifah Sunanto, 2005).

Di samping penerapan syariah Islam, hubungan Nusantara dengan Khilafah Islam pun terjalin. Pada tahun 100 H (718 M) Raja Sriwijaya Jambi yang bernama Srindravarman mengirim surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz dari Khilafah Bani Umayyah. Sang Raja meminta dikirimi dai yang bisa menjelaskan Islam kepadanya. Dua tahun kemudian, yakni tahun 720 M, Raja Srindravarman, yang semula Hindu, masuk Islam. Sriwijaya Jambi pun dikenal dengan nama Sribuza Islam. (Ayzumardi Azra, 2005). -

Bernard Lewis (2004) menyebutkan bahwa pada tahun 1563 penguasa Muslim di Aceh mengirim seorang utusan ke Istanbul untuk meminta bantuan melawan Portugis. Dikirimlah 19 kapal perang dan sejumlah kapal lainnya pengangkut persenjataan dan persediaan; sekalipun hanya satu atau dua kapal yang tiba di Aceh.


“Sesuai dengan ketentuan adat istiadat kesultanan Aceh yang kami miliki dengan batas-batasnya yang dikenal dan sudah dipunyai oleh moyang kami sejak zaman dahulu serta sudah mewarisi singgasana dari ayah kepada anak dalam keadaan merdeka.

Sesudah itu kami diharuskan memperoleh perlindungan Sultan Salim si penakluk dan tunduk kepada pemerintahan Ottoman dan sejak itu kami tetap berada di bawah pemerintahan Yang Mulia dan selalu bernaung di bawah bantuan kemuliaan Yang Mulia almarhum sultan Abdul Majid penguasa kita yang agung, sudah menganugerahkan kepada almarhum moyang kami sultan Alaudddin Mansursyah titah yang agung berisi perintah kekuasaan.

Kami juga mengakui bahwa penguasa Turki yang Agung merupakan penguasa dari semua penguasa Islam dan Turki merupakan penguasa tunggal dan tertinggi bagi bangsa-bangsa yang beragama Islam. Selain kepada Allah SWT, penguasa Turki adalah tempat kami menaruh kepercayaan dan hanya Yang Mulialah penolong kami."

Petikan isi surat tersebut dikutip dari Seri Informasi Aceh th.VI No.5 berjudul Surat-surat Lepas Yang Berhubungan Dengan Politik Luar Negeri Kesultanan Aceh Menjelang Perang Belanda di Aceh diterbitkan oleh Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh tahun 1982 berdasarkan buku referensi dari Anthony Reid, ”Indonesian Diplomacy a Documentary Study of Atjehnese Foreign Policy in The Reign of Sultan Mahmud 1870-1874”, JMBRAS, vol.42, Pt.1, No.215, hal 80-81 (Terjemahan : R. Azwad).


Penjajahan Belanda di Indonesia

Pada masa penjajahan, Belanda berupaya menghapuskan penerapan syariah Islam oleh hampir seluruh kesultanan Islam di Indonesia. Salah satu langkah penting yang dilakukan Belanda adalah menyusupkan pemikiran dan politik sekular melalui Snouck Hurgronye.

Keputusan Raja tanggal 4 Februari 1859 No. 78 yang membenarkan Gubernur Jenderal Hindia Belanda mencampuri masalah agama dan mengawasi setiap gerak-gerik para ulama, bila dipandang perlu, demi kepentingan ketertiban dan keamanan.

Snouck Hurgronje menyatakan dalam bukunya, Arabie en Oost Indie (hlm. 22), bahwa orang Islam di Indonesia sebenarnya hanya tampaknya saja memeluk Islam dan hanya di permukaan kehidupan mereka ditutupi agama ini. Ibarat berselimutkan kain dengan lubang-lubang besar, tampak keaslian sebenarnya, yang bukan Islam. Orientalis lain, J.C. Van Leur, bahkan menyimpulkan bahwa Islam tidak membawa perubahan mendasar sedikit pun di kepulauan Melayu-Indonesia dan tidak juga perabadan yang lebih luhur daripada peradaban yang sudah ada.

Pakar sejarah Melayu, Prof. Naquib Al-Attas menolak keras teori para sarjana Barat yang menganggap kehadiran Islam di wilayah Melayu-Indonesia ini tidak meninggalkan sesuatu yang berarti bagi peradaban di wilayah ini. Ia menulis, “Banyak sarjana yang telah memperkatakan bahwa Islam itu tidak meresap ke dalam struktur masyarakat Melayu-Indonesia; hanya sedikit jejaknya di atas jasad Melayu, laksana pelitur di atas kayu, yang andaikan dikorek sedikit akan terkupas menonjolkan ke hinduannya, kebudhaannya, dan animismenya. Namun menurut saya, paham demikian itu tidak benar dan hanya berdasarkan wawasan sempit yang kurang dalam lagi hanya merupakan angan-angan belaka.” (Lihat, Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, 1990:41).

Al-Attas bahkan menyebutkan, kedatangan Islam di wilayah Nusantara merupakan peristiwa paling penting dalam sejarah kepulauan Melayu-Indonesia. M.C. Ricklefs dalam bukunya, A History of Modern Indonesia, memulai penulisan sejarah Indonesia modern dengan kedatangan Islam. Islam, tulisnya, membawa banyak perubahan penting dan mendasar dalam masyarakat kepulauan Melayu-Indonesia.

Menurut Al-Attas dalam Preliminary Statement on a General Theory of the Islamization of the Malaysia Indonesian Archipelago, Islam datang ke kepulauan Melayu-Indonesia membawa semangat religius yang amat intelektual dan rasionalistis, sehingga mudah masuk ke dalam pikiran rakyat. Ini menyebabkan kebangkitan rasionalisme dan intelektualisme yang tidak dinyatakan dalam masa-masa pra-Islam. Timbulnya rasionalisme dan intelektualisme ini dapat dipandang sebagai semangat yang kuat yang menggerakkan proses revolusi dalam pandangan dunia Melayu-Indonesia, dan mengelakkannya dari dunia mitologi yang rontok. Semangat rasionalisme dan intelektualisme ini bukan saja di kalangan istana dan keraton, bahkan juga merebak di kalangan rakyat jelata. (hlm. 5-6)


Hubungan Belanda dan Islam

Tanpa diketahui banyak orang, awal hubungan antara Belanda dengan Islam/Dunia Islam dapat dilacak hingga berabad-abad yang lalu. Misalnya, selama 80 tahun perang kemerdekaan Belanda dari dominasi Spanyol di abad ke 15 dan 16, Belanda secara aktif mencari dukungan dari Khalifah di Istanbul. Pemimpin resistensi Belanda, Raja William I ‘Oranye’ mencari sokongan dana dan persenjataan dari Khalifah, yangk akhirnya dikabulkan. Khalifah mendukung pemberontakan Belanda dengan dana, dan angkatan lautnya menyerang armada kapal perang Spanyol di Laut Mediterania untuk membantu melepas tekanan Spanyol terhadap Belanda.

Setelah mencapai kemerdekaanya, Belanda diundang untuk membuka kedutaan di negara Khilafah, yang dibuka di tahun 1612. Cornelis Haga adalah duta besar Belanda pertama pada masa pemerintahan Khalifa Ahmed I (1603-1617). Karena kerjasama Khalifah dalam Perang Kemerdekaan Belanda, Belanda menjalin kerjasama perdagangan dengan umat Islam. Mereka membuka kantor konsuler di berbagai kota pelabuhan di kawasan Mediterania, termasuk membuka daerah komunitas Belanda di kota Smyrna (Izmir) dalam wilayah kekuasaan Khilafah Uthmani. Di daerah tersebut, warga Belanda diberi kebebasan beragama dan mendirikan gereja dan membangun pemakaman disamping juga rumah sakit, tempat pembuatan roti, dan bahkan kedai bar. Duta besar Belanda untuk Indonesia saat ini, Nicolaos van Dam bahkan menulis buku tentang relasi Belanda dengan Khilafah Uthmani dalam bukunya “Belanda dan Dunia Arab: Dari Abad Pertengahan menuju Abad ke 21.”

Salah satu konsekuensi dari hubungan dagang yang dilakukan melalui laut adalah terlibatnya banyak pelayar Belanda yang ikut mengabdi dalam Angkatan Laut Khilafah Islam. Contohnya adalah Jan Janszoon van Haarlem dan Ivan Dirkie de Veenboer, yang kemudian berganti nama sebagai Murat Reis dan Suleyman Reis setelah mereka memeluk Islam. Maka sejak abad 17 dan 18 sudah ada beberapa warga Belanda yang telah masuk Islam.

Bermula dari hubungan ini juga, banyak warga Belanda yang kemudian mempelajari Islam dan juga bahasa yang digunakan oleh umat Islam. Di tahun 1575, Universitas Leiden membuka Fakultas Bahasa ‘Orient’ (kawasan Asia Timur) untuk membekali warga Belanda dengan kemampuan bahasa seperti bahasa Arab, Turki, dan Persia, serta juga pengetahuan tentang Islam. Bidang studi ‘Orient’ ini dimulai untuk mendukung hubungan perdagangan dengan umat Islam. Namun sejak turunnya pamor intelektual serta pengaruh Khilafah Islam terhadap dunia, studi tentang Islam dan bahasa umat Islam di Belanda mulai berpindah arah dan tujuan.

Ketika Belanda menjajah Indonesia, pengetahuan yang dimiliki Belanda tentang Islam dan Bahasa para pemeluknya digunakan untuk mendukung upaya penundukan umat Islam dan penjarahan sumber daya alamnya. Hal ini sungguh menjadi ironi tersendiri dan kejahatan terburuk dalam sejarah peradaban. Belanda memulai untuk belajar tentang Islam karena kaum muslim telah membantu mereka ketika mereka tertindas oleh Spanyol, menawarkan perdagangan, dan menerima mereka dengan persahabatan di wilayah kekuasaan mereka. Setelah terbebasnya kota Leiden di Belanda dari pendudukan Spanyol, suatu Universitas dibangun diatasnya sebagai monumen kemenangan dan di kampus inilah studi Bahasa Orient berkembang pesat. Namun ketika Muslim mulai menurun pengaruhnya, pengetahuan yang dibina di kampus Universitas Leiden justru digunakan untuk menundukkan dan menjajah umat muslim yang sama yang sebelumnya telah membantu Belanda, memberi perlakuan istemewa dalam perdagangan dan memperlakukannya dengan hormat.


Pelemahan Umat Islam di Nusantara
 
Penjajah Belanda kemudian berupaya melemahkan dan menghancurkan Islam dengan 3 cara,yaitu:

Pertama: memberangus politik dan institusi politik/pemerintahan Islam. Dihapuslah kesultanan Islam. Contohnya adalah Banten. Sejak Belanda menguasai Batavia, Kesultanan Islam Banten langsung diserang dan dihancurkan. Seluruh penerapan Islam dicabut, lalu diganti dengan peraturan kolonial.

Kedua: melalui kerjasama raja/sultan dengan penjajah Belanda. Hal ini tampak di Kerajaan Islam Demak. Pelaksanaan syariah Islam bergantung pada sikap sultannya. Di Kerajaan Mataram, misalnya, penerapan Islam mulai menurun sejak Kerajaan Mataram dipimpin Amangkurat I yang bekerjasama dengan Belanda.

Ketiga: dengan menyebar para orientalis yang dipelihara oleh pemerintah penjajah. Pemerintah Belanda membuat Kantoor voor Inlandsche zaken yang lebih terkenal dengan kantor agama (penasihat pemerintah dalam masalah pribumi). Kantor ini bertugas membuat ordonansi (UU) yang mengebiri dan menghancurkan Islam. Salah satu pimpinannya adalah Snouck Hurgronye. Dikeluarkanlah: Ordonansi Peradilan Agama tahun 1882, yang dimaksudkan agar politik tidak mencampuri urusan agama (sekularisasi); Ordonansi Pendidikan, yang menempatkan Islam sebagai saingan yang harus dihadapi; Ordonansi Guru tahun 1905 yang mewajibkan setiap guru agama Islam memiliki izin; Ordonansi Sekolah Liar tahun 1880 dan 1923, yang merupakan percobaan untuk membunuh sekolah-sekolah Islam. Sekolah Islam didudukkan sebagai sekolah liar. (H. Aqib Suminto, 1986).

Demikianlah, syariah Islam mulai diganti oleh penjajah Belanda dengan hukum-hukum sekular. Hukum-hukum sekular ini terus berlangsung hingga sekarang. Walhasil, tidak salah jika dikatakan bahwa hukum-hukum yang berlaku di negeri ini saat ini merupakan warisan dari penjajah; sesuatu yang justru seharusnya dienyahkan oleh kaum Muslim, sebagaimana mereka dulu berhasil mengenyahkan sang penjajah: Belanda.



Sumber:
[1] https://saripedia.wordpress.com/tag/hubungan-nusantara-dengan-khalifah-islam/
[2] http://www.slideshare.net/hannafatiha/kerajaan-kerajaan-islam-di-nusantara
[3] http://www.voa-islam.com/read/indonesia/2009/11/17/1732/jejak-khilafah-dan-syariah-di-indonesia/;#sthash.AZHte4CM.dpbs
[4] http://atjehpost.co/berita2/read/Sepucuk-Surat-Dari-Ottoman-607
[5] http://cintabunda1990.blogspot.co.id/2014/05/orientasi-dan-sejarah-indonesia.html
[6] http://hizbut-tahrir.or.id/2009/03/31/idries-de-vries-kemerdekaan-belanda-berkat-bantuan-khilafah-utsmaniyah/
[7] http://www.academia.edu/24417293/POLITIK_HUKUM_HINDIA_BELANDA_DAN_PENGARUHNYA_TERHADAP_LEGISLASI_HUKUM_ISLAM_DI_INDONESIA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar