Minggu, 27 Maret 2016

Ikhlas = Tauhid


قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ (١) اللَّهُ الصَّمَدُ (٢) لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ (٣) وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ (٤)

1) katakanlah: "Dia-lah Allah ,Yang Maha Esa
2) Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu
3) Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan
4) dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia (QS. Al-Ikhlas: 1 - 4)

Surat Al-Ikhlas berisi pokok-pokok ajaran Tauhid. Begitu pentingnya Tauhid, sehingga Rasulullah SAW mengatakan bahwa 1 surat Al-Ikhlas = 1/3 Al-Qur'an.

Dari Abu Sai’id Ra ia berkata: “Ada seorang laki-laki mendengar seseorang sedang membaca Al-ikhlas dan ia mengulang-ngulangnya. Dan di pagi harinya laki-laki tersebut datang kepada Nabi SAW dan menceritakan hal tersebut dan seakan-akan dia mengangap sepele hal tersebut, maka Nabi SAW bersabda: “Demi Dzat yang diriku ada pada Tangan-Nya, sesungguhnya ia (surat Al-Ikhlas) sebanding dengan sepertiga Al-Qur’an.” (HR. Bukhori 7374)


Sebagaimana tercantum pada Surat Al-Ikhlas ayat 1-2, ajaran Tauhid mengharuskan kita untuk hanya menyembah Allah SWT, dan tidak bergantung selain kepada-Nya.

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
"Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan". (QS. Al-Fatihah: 5)

Tidak hanya pada saat melakukan ibadah mahdhah, seperti sholat, puasa, zakat, dan haji. Namun juga seluruh aktivitas kita, harus dilandaskan pada niat mencari ridho-Nya.

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz Dzariyat: 56)

Jika kita melakukan suatu hal dengan mengharapkan selain daripada ridho-Nya, maka kita telah menempatkan hal lain tersebut sebagai sekutu (tandingan) dari Allah SWT.

إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ 
Sesungguhnya barang siapa yang menyekutukan Allah, maka Allah haramkan baginya surga dan tempat kembalinya adalah neraka dan tidaklah ada bagi pelaku kezaliman itu para penolong. (QS. Al-Maidah: 72)

Sebuah contoh sederhana, jika kita beribadah lebih khusyu ketika ada orang lain yang melihat, maka ikhlas kita masih dipertanyakan.

إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ الشِّرْكُ الأَصْغَرُ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا الشِّرْكُ الأَصْغَرُ قَالَ الرِّيَاءُ
 “Sesungguhnya yang paling aku takutkan dari apa yang aku takutkan menimpa kalian adalah syirkul ashghar (syirik kecil).Maka para shahabat bertanya, ”Apa yang dimaksud dengan syirkul ashghar?” Beliau shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab,“Ar-riya’.” (HR. Ahmad no. 27742)

Pada contoh lain, seorang pemain basket yang melempar bola ke ring, atau pemain bola yang menendang bola ke gawang, harus meyakini bahwa yang menentukan keberhasilan (atau kegagalan)nya adalah Allah SWT. Bukan hanya karena dirinya sendiri, atau orang lain.

يَا عَبْدَ اللَّهِ بْنَ قَيْسٍ قُلْ لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ . فَإِنَّهَا كَنْزٌ مِنْ كُنُوزِ الْجَنَّةِ
Wahai ‘Abdullah bin Qois, katakanlah ‘laa hawla wa laa quwwata illa billah’, karena ia merupakan simpanan pahala berharga di surga” (HR. Bukhari no. 7386)

Jika kita berharap kepada selain Allah SWT, kekecewaan yang akan kita dapat. Karena hanya Allah SWT yang sempurna.
 كل يني ادم خطاء وخيرالخطائين التوابون
Rasulullah bersabda, "Setiap keturunan anak Adam melakukan kesalahan, dan sebaik-baik orang yang melakukan kesalahan adalah orang yang bertaubat".(HR.Ath-Tirmidzi)

Akhir kata, ikhlas hanya kita peroleh, jika kita terus menerus berusaha untuk mencari ridho-Nya. Sebuah kesombongan, jika merasa bahwa diri sudah meraih tahap ikhlas yang sebenarnya.
إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ
Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada Kami.” (QS. Al Anbiya’: 90)