Minggu, 14 Februari 2016

Allah Dulu, Allah Lagi, Allah Terus...

Saat kuliah, saya pernah belajar 1 mata kuliah Filsafat Ilmu (2 sks). Kurang lebih, belajar filsafat itu adalah belajar mengenai cara berfikir, atau belajar mengenai cara belajar itu sendiri.. membingungkan ya? :D

Sederhananya, jika seseorang mendasari cara berfikirnya pada logika dan bukti-bukti ilmiah (empiris).. itulah filsafatnya Logika dan Empirisme. Sebagaimana yang biasa kita pelajari di bangku sekolah. Contoh logika adalah "aku berfikir, maka aku ada" (Descartes). Jadi, kebenaran adalah hasil dari penalaran terhadap fakta-fakta. Sementara contoh Empirisme adalah percobaan di laboratorium fisika. Sebuah mobil-mobilan digerakan dari 1 posisi ke posisi lainnya dengan kecepatan konstan, sambil dihitung waktunya. Berdasarkan beberapa percobaan maka dapat dibuktikan kebenaran rumus bahwa kecepatan berbanding lurus dengan perpindahan, dan berbanding terbalik dengan waktu.

Jika seseorang melandasi cara berfikirnya dengan perhatian pada menghindari hal-hal yang dapat melukai perasaan orang lain, maka filsafatnya adalah Humanisme. Ada juga orang yang memberikan perhatian besar pada hak-hak perempuan, maka filsafatnya adalah Feminisme.

Lalu bagaimana dengan orang beragama.. apa filsafatnya? Filsafatnya adalah Teologi. Dalam Islam, referensi utamanya adalah Al-Qur'an (firman Allah SWT) dan Hadits Rasul (perkataan/ perbuatan Nabi Muhammad SAW).

Filsafat Teologi bertentangan dengan paham Sekuler/ Materialisme yang mengakui bahwa yang hakiki di dunia ini hanyalah benda nyata (tidak ada yang ghaib). Materialisme berkembang menjadi Kapitalisme, yang menghubungkan manusia dengan barang apa yang dimilikinya/ diproduksi sesuai dengan profesinya. Oleh karena Kapitalisme berujung pada kesenjangan sosial, maka dicetuskanlah ide kepemilikan barang secara bersama (Komunisme/ Sosialisme).

Apapun yang menjadi filsafat seseorang  disadari atau tidak, disengaja atau tidak, itulah yang akan melandasi segala ucapan dan perbuatannya. Oleh karena dalam mengambil setiap keputusan, pastilah didasari pada suatu hal yang menurutnya paling penting, dan itulah filsafat yang dianutnya.

Lalu apakah orang beragama tidak boleh berpikir menggunakan akalnya, atau melakukan percobaan untuk membuktikan suatu hal? Tentu saja boleh. Dalam Islam, firman Allah SWT yang pertama turun adalah Al-Alaq ayat 1-5, yang berisi perintah untuk membaca/ mempelajari alam semesta dengan menyebut nama-Nya. Namun jangan akal dipakai untuk melakukan rekayasa ilmiah, dalam rangka membuktikan logika seseorang bahwa Nabi Adam a.s tidak diturunkan dari surga, melainkan adalah keturunan kera. Jangan juga menggunakan alasan Demokrasi, untuk melegalkan LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual, dan Transgender), meskipun hal tersebut dilarang oleh Allah SWT. Jika hal tersebut dilakukan.. maka apa yang akan kita jawab, saat malaikat Munkar dan Nakir bertanya siapa tuhan kita?

Wallahu a'lam bishowab.